Langsung ke konten utama

Proses Pembentukan Magma

Proses Pembentukan Magma


Para ahli geologi dan vulkanologi bahwa panas bumi berasal dari proses
“pembusukan” mineral radioaktif. Pada unsur radioaktif yang terkandung pada suatu
mineral, pada saat unsur tersebut meluruh (desintegration) menjadi unsur radioaktif

yang susunannya lebih stabil, akan mengeluarkan sejumlah bahan (tenaga) panas
yang mampu melelehkan batuan disekitarnya.
Secara teoritik, zat radioaktif akan semakin berkurang, pada kedalaman yang semakin
besar. Dari pemahaman seperti ini pula maka lahir beberapa istilah yang berhubungan
dengan suhu dan kedalaman. Landaian panas bumi normal (geothermal gardien)
adalah istilah yang menerangkan bertambah besarnya suhu apabila kita susun hingga
kedalaman tertentu, yakni sekitar 30C/100 m. Sedangkan besarnya derajat geothermal
normal (geothermal degree) adalah 10 C/33 m – 10 C/45 m. Variasi derajat geothermal
ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; kondisi batuan, proses hidrokimia
batuan, kerja air tanah, kerja air permukaan dan konsentrasi mineral radioaktif. Secara
teoritis semakin kearah inti bumi, derajat geothermal akan mencapai 193.600º C
sehingga unsur-unsur di dalam selubung dan inti bumi berada dalam keaadaan cair.
Kecepatan rambat gelombang yang rendah dalam selubung atas bumi, sekitar
kedalaman 50-150 km, mencirikan adanya lajur yang sebagian kecil berupa bahan
lelehan. Berdasarkan analisis gempa, magma basal di Hawaii terdapat pada
kedalaman 50-60 km.
Menurut beberapa ahli, pembentukan magma membutuhkan:
1. Bahan selubung, di mana para ahli kurang setuju apabila lapisan lapisan ini
terdiri dari eklogit dan peridotit. Ringwood (1975) percaya kalau di dalam
lapisan ini terdapat basal dan peridotit dengan perbandingan 1 : 3.
2. Bahan kerak, di mana lelehan bahan kerak (magma anatektik) apabila
sempurna akan membentuk magma sinteksis. Tetapi apabila prosesnya tidak
sempurna, maka hanya akan terbentuk reormofis saja.
3. Sedimen cekungan.
Pembentukan magma merupakan serangkaian proses kompleks yang meliputi :
 pemisahan (differentiation), yaitu proses dimana magma yang homogen terpisah
dalam fraksi-fraksi komposisi yang berbeda-beda.
 percampuran (assimilation), saat evolusi magma juga dipengaruhi oleh batuan
sekitarnya (wall-rock). Magma dalam temperatur tinggi, sewaktu kristal-kristal
mulai terbentuk maka panas ini akan menjalar dan melarutkan batuan-batuan
sekitarnya. Sehingga mempengaruhi komposisi magma tersebut. Hal ini sering

terjadi terutama pada magma plutonik. Proses Pencampuran Magma ; dua batuan
yang berbeda, terutama batuan vulkanik dan batuan intrusi dangkal dapat juga
dihasilkan oleh campuran dari sebagian kristalisasi magma.
 anaktesis
 hibridasi serta metamorfisma regional.
Komposisi magma ditentukan oleh komposisi bahan yang meleleh, derajat fraksinasi,
dan jumlah pengotoran dalam magma oleh batuan samping (parent rock).
Dan telah disepakati pula kalau sumber panas di dalam selubung dan inti bumi adalah
:
 Panas sisa bumi,
 Pembusukan mineral radioaktif,
 Pelepasan gelombang tenaga,
 Radiasi matahari dan reaksi eksotermik.
Sementara, komposisi magma ditentukan oleh komposisi bahan yang meleleh, derajat
fraksinasi dan jumlah pengotoran dalam magma oleh batuan samping (parent rock).
Berbagai pendapat tentang asal-usul magma (the problem of origin of magma) :
1. Merupakan pandangan magmatis klasik (classical magmatism), di mana terdapat
dua kerabat (suite) magma yaitu kerabat simatik (simatic suite) dan kerabat sialik
(sialic suite). Basal samudra adalah hasil "juvenil" yang berasal dari primary
magma shell (Ritmann, 1967)
2. Pada tahapan kedua perkembangan bumi, bahan selubung atas dan kerak telah
mengalami keseimbangan geokimia yang dinamik, sehingga basal samudra yang
telah terpisah dari selubung atas bumi bukan merupakan bahan juventil dari bakalbumi (proto earth), tetapi berasal dari lapisan sima. Demikian pula dengan basal
dataran tinggi (plateau basalt). Sedangkan pluton granitik dan kerabat kapur alkali
(talc alkaline suite) berasaldari bahan kerak sialik. Teori ini dikenal dengan
Neohuttonianism Theory, yang dikemukakan oleh Nieuwenkamps (1968)
3. Magma benua umumnya bersifat bebas (independent), sedang mahma basaltik
berasal dari selubung atas bumi. magma asam atau magma riolitik diduga berasal
dari kerak sialik (Glangeaud & Lettole, 1960)

3. Komposisi Magma
Komposisi Kimia Magma berupa senyawa yang bersifat non volatile, volatile dan
unsur-unsur lain atau unsur jejak , sebagai berikut :
1. Senyawa yang bersifat non volatil dan merupakan senyawa oksida dalam magma
terdiri dari SiO2 , Al2O9, Fe2O9, FeO, MnO, CaO,Na2O,K2O, TiO2, P2O5.
2. Senyawa volatil ; terdiri dari fraksi-fraksi gas CH4, CO2, HCl, H2S, SO2 dsb.
3. Unsur-unsur lain atau unsur jejak : Rb, Ba, Sr, Ni, Co, V, Li, Cr, S, Pb.
4 Evolusi Magma
Magma dapat berubah menjadi magma yang bersifat lain oleh proses-proses sebagai
berikut:
a. Hibridisasi : pembentukan magma baru karena pencampuran 2 magma yang
berlainan jenis.
b. Sintesis : pembentukan magma baru karena proses asimilasi dengan batuan
gamping.
c. Anateksis : proses pembentukan magma dari peleburan batuan pada
kedalaman yang sangat besar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

metode goresan atau spread plate method

metode goresan atau spread plate method proses penanaman bakteri hanya dilakukan di permukaan bakteri saja.Teknik ini menguntungkan jika ditinjau dari sudut ekonomi dan waktu, tetapi memerlukan keterampilan-keterampilan yang diperoleh dengan latihan. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah. Tetapi kelemahan metode ini adalah bakteri-bakteri anaerob tidak dapat tumbuh, karena goresan hanya dilakukan di permukaan media saja. pada metode goresan atau spread plate, bakteri hanya tumbuh pada permkaan media yang digores saja, sementara pada metode cawan tuang atau pour plate, bakteri tumbuh tidak hanya di permukaan media saja tetapi diseluruh bagian media. Dalam melakukan teknik goresan harus memperhatikan beberapa hal berikut ini, antara lain: 1. Gunakan jarum ose yang telah dingin untuk menggores permukaan lempengan media. Jarum ose yang masih panas akan mematikan mikroorganisme sehingga tidak terlihat adanya pertumbuhan mikroorganisme di bekas gores

Penelitian Ditinjau dari Cara Pembahasannya

Penelitian Ditinjau dari Cara Pembahasannya Penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penelitian deskriptif dan penelitian inferensial. a. Penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang melukiskan, memaparkan, menuliskan, dan melaporkan suatu keadaan, objek, atau peristiwa secara apa adanya. b. Penelitian inferensial, yaitu tidak hanya melukiskan peristiwa saja, tetapi juga menarik kesimpulan umum dari masalah yang diteliti.

Prosedur Uji Salmonella

Prosedur Uji Salmonella Untuk melakukan deteksi cemaran Salmonella pada produk makanan, ada beberapa metoda yang direkomendasikan untuk digunakan oleh industri maupun laboratorium analisa lainnya. Salah satunya adalah metoda yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Internasional, yaitu Standar ISO 6579 : 2002 Microbiology of food and animal feeding stuffs -- Horizontal method for the detection of Salmonella spp. Dalam metoda ISO 6579 : 2002 ini terdiri dalam tiga tahapan, tahap pertama adalah pre-enrichment, tahap kedua adalah selective enrichment, dan tahap ketiga adalah isolasi pada media agar selektif. Tahap pre enrichment menggunakan media kultur cair yaitu Buffered Peptone Water (BPW). Pre-enrichment pada media kultur cair berfungsi untuk memperbaiki kondisi bakteri yang injured.Tahapan kedua adalah melakukan selective enrichment pada 2 jenis media kultur cair, yaitu Rappaport Vassiliadis Salmonella Enrichment Broth (RVS) dan Muller Kaufman Tetrathionate Novobiocin